Perpustakaan Wan Shi Tong dan Dramaturgi Relasi Kuasa dan Pengetahuan
Perpustakaan Wan Shi Tong adalah salah satu perpustakaan yang memiliki koleksi terbesar dan terlengkap di dunia, pustakawan yang sangat kompeten dan memiliki beragam layanan pengetahuan termasuk sebuah planetarium. Luar biasa kan?
Tapi sayangnya, kamu tak akan menemukan perpustakaan ini dimanapun di dunia.
Karena perpustakaan ini adalah bagian dari cerita animasi fiksi Avatar: The Last Airbender atau Avatar: The Legend of Aang.
Untuk kamu yang belum tau (but, seriously?), cerita Avatar: The Legend of Aang adalah kisah tentang seorang avatar muda yang bernama Aang (dibaca ‘eng’ bukan ‘a-ang’ ya) dalam prosesnya menjadi seorang avatar sejati yaitu dengan menguasai empat elemen yaitu: api, air, tanah dan udara. Dalam perjalanannya mempelajari elemen-elemen tersebut, Aang ditemani oleh keempat temannya yaitu kakak beradik Sokka dan Katara, Toph dan seekor bison terbang (?), Appa. Kondisi saat itu seluruh negara telah dijajah oleh Negara Api dengan jalan kekerasan. Perjalanan Aang dan teman-temannya inilah yang menjadi premis utama dalam cerita Avatar: The Legend of Aang.
terus, Perpustakaan Wan Shi Tong itu apa?
Oke sabar. ini ku ceritain ya:
Perpustakaan Wan Shi Tong muncul pada episode ke 30 dari seri kartun ini. Cerita diawali dengan ketidaksengajaan Aang dkk bertemu dengan seorang antropolog, Profesor Zhang dari Universitas Ba Sing Se dalam cerita tersebut. Sang antropolog menceritakan bahwa terdapat satu perpustakaan yang memiliki koleksi yang sangat besar terletak ditengah gurun pasir yang tandus. Perpustakaan tersebut memiliki pengetahuan yang tak terbatas, karena dijaga oleh salah satu spirit(atau jin gitu deh) ‘pustakawan’ Wan Shi Tong yang menjaga perpustakaan dan dibantu oleh spirit rubah ‘Knowledge Seekers’ yang mengumpulkan informasi dari seluruh dunia.
Aang dkk penasaran terhadap perpustakaan karena hendak mencari segala informasi tentang negara api untuk mengalahkanya. Akhirnya mereka bersama sang antropolog mencari perpustakaan ditengah gurun pasir yang tandus itu dan menemukan perpustakaan terkubur dibawah gurun pasir.
Aang dkk bersama sang antropolog masuk ke perpustakaan dan bertemu dengan spirit ‘pustakawan’ Wan Shi Tong. Awalnya sang spirit sangat skeptis dengan kedatangan mereka dan mengatakan bahwa sebelum ini, ada manusia yang mengunjungi perpustakaan dan mencari pengetahuan akan kelemahan-kelemahan negara lain untuk menguasainya.
Dia adalah Jendral Zhao, seorang jendral tertinggi dari Negara Api yang terkenal sadis namun sangat cerdik dan berpengetahuan luas. Zhao memanfaatkan koleksi yang ada di perpustakaan Wan Shi Tong untuk menguasai dunia dan menjadi bagian dari sejarah dunia (kan ada frasa tuh: ‘sejarah adalah biografi para penguasa’).
Aang dan kawan-kawan berbohong dengan berjanji kepada Wan Shi Tong bahwa mereka hanya ingin berkunjung sembari mencari pengetahuan, hingga akhirnya diizinkan untuk berkunjung ke perpustakaan.
Singkat cerita, ternyata Aang dkk menemukan salah satu manuskrip yang menjelaskan bahwa ada ‘hari tergelap dalam Negara Api’, dan hari tersebut adalah saat gerhana matahari. Namun hal ini ketahuan oleh Wan Shi Tong dan mencoba mengusir mereka karena telah melanggar janji untuk tidak menggunakan pengetahuan untuk kekuasaan. Aang dkk berhasil kabur namun sang antropolog tetap bersedia tinggal di perpustakaan karena cintanya terhadap pengetahuan.
Kunjungan Aang dkk ke Perpustakaan Wan Shi Tong merupakan salah satu turning point dalam kisah Avatar: The Legend of Aang. Dengan pengetahuan ini akhirnya mereka mengetahui bahwa Negara Api yang selama ini sangat superior, juga memiliki kelemahan.
Dramaturgi dan Relasi Kuasa-Pengetahuan
Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul “Presentation of Self in Everyday Life”. Dramaturgi menegaskan bahwa teater dan drama memberikan gambaran terkini tentang kondisi sosial masyarakat.
Jika kita tarik pemaknaan ‘teater dan drama’ dalam aspek lain yang lebih luas, maka cerita kartun maupun film dan sinetron (bahasa keren nya Soap Opera atau Opera Sabun) juga dapat dipahami sebagai bagian dramaturgi yang merepresentasikan kondisi masyarakat saat ini.
Jika kita menilik tentang konsep yang diajukan oleh Michel Fouacult, tentang relasi Kuasa/Pengetahuan maka kisah yang diceritakaan di atas memberikan kita dramaturgi secara inplisit tentang bagaimana hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Foucault adalah seorang filsuf post-modernisme yang lahir tahun 1926 di Pointiers, Perancis. Foucault banyak memberikan teori yang membahas tetang kuasa, pengetahuan dan keterkaitan keduanya tentang konsepsi akan kebenaran.
Menurut Foucault, kekuasaan tidak hanya terbatas dari atas kebawah tetapi ke segala arah dan akan selalu beriringan dengan pengetahuan. Menurutnya Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan.
Perpustakaan menurut Foucault memiliki peran besar dalam merepresentasikan kekuasaan. Fantasia in the Library merupakan salah satu essay yang ditulis oleh Foucault yang menggambarkan bagaimana hubungan kekuasaan mempengaruhi kebebasan individu untuk menentukan pilihan dalam hidupya maupun melihat kehidupan itu sendiri.
Foucault memberikan sindiran yang segar bahwa perpustakaan seolah-seolah selalu positivis, penuh akan hal-hal normatif dan kaku. Hal ini diasosiasikan Foucault dengan konsep panoptik atau panopticon concept. Bahwa negara atau orang yang berkuasa akan selalu memperhatikan dan mengatur setiap gerak gerik masyarakatnya melalui lembaga-lembaga. Padahal sejatinya lembaga-lembaga publik inilah yang justru jadi penyuara masyarakat kepada pemerintahnya, termasuk perpustakaan.
Jika kita lihat dalam kisah tadi digambarkan bagaimana pengetahuan dapat mengubah kondisi masyarakat. Pengetahuan lah yang mengubah Negara Api menjadi negara yang adidaya, bisa kita lihat kondisi di dunia nyata saat ini dimana negara adidaya lah yang menguasai pengetahuan dan sistem pengetahuan itu sendiri.
Dengan pengetahuan, negara adidaya dapat menanamkan doktrin dan pengaruhnya terhadap negara lain, eksploitasi baik dari SDA maupun SDM, menempatkan negara-negara berkembang dan terbelakang selalu dalam pantauan mereka.
Selanjutnya bagaimana perpustakaan mengasingkan diri dari kekuasaan, padahal sejatinya ia memiliki peran besar untuk memberikan keseimbangan pengetahuan kepada masyarakat. Tidak seharusnya perpustakaan mengurung diri di dalam sangkar pengetahuan sendiri tanpa memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Perpustakaan harus selalu inklusif, membuka diri kepada siapapun, netral dan berimbang namun tetap aktif menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat. Sehingga ketika terjadi sesuatu yang ‘salah’ dalam masyarakat, maka masyarakatlah yang akan ‘memperbaikinya’ sendiri. Sama halnya ketika kita melihat bagaimana perjuangan Aang dkk untuk melepaskan segala penjajahan dari Negara Api.
Harus kita akui, paradigma yang dimiliki oleh ‘spirit’ Wan Shi Tong masih merupakan paradigma yang dimiliki banyak pustakawan di Indonesia. Dalam satu sesi kuliah pernah disampaikan oleh dosen saya, Ida Fajar bahwa sangat sulit menerapkan konsep interlibrary loan di Indonesia, karena konsep berfikirnya masih banyak yang protektif dan positivis kepada informasi yang mereka miliki. Padahal kolaborasi adalah kunci utama kemajuan kepustakawanan yang ada dinegara maju.
___
Dari kisah Perpustakaan Wan Shi Tong ini kita dapat melihat bagaimana perpustakaan memiliki peran besar dalam perjuangan Aang dkk. Perpustakaan seharusnya menjadi sebuah timbangan yang dapat menyeimbangkan masyarakat. Pengetahuan dan Kuasa akan selalu saling tarik menarik layaknya atom elektron, proton dan neutron dan saling terhubung membentuk wujud realitas.
Majunya teknologi informasi saat ini menempatkan perpustakaan tak lagi menjadi ‘pusat pengetahuan’ melainkan sebuah heterotopia, sebuah ruang-ruang yang lain dalam masyarakat. Paradigma yang sebelumnya kaku, penuh hal normatif harus segera mungkin diubah menjadi sebuah locus atau tempat yang memberikan pengalaman yang lain kepada masyarakat.
Ya, perpustakaan tak lagi sekedar rak-rak buku… tapi taman bermain, dimana kuasa dan pengetahuan bermain-main di dalamnya.
___
Tulisan ini ditulis oleh Dwi C Prasetyo, Pustakawan Universitas Muhammadiyah Pontianak dan sedang tugas belajar di Konsentrasi Ilmu Perpustakaan Jurusan Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kawan pustaka dapat menyapa langsung melalui twitter dan instagram: @dwinucleo.
Jika ingin copas maupun mengadaptasinya dalam tulisan kawan-kawan, harap memberitahukan terlebih dahulu. Terimakasih.
— —
daftar rujukan
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jogjakarta, Kanisius),hal.302.
George ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. (Jojakarta, Kreasi Wacana, 2003)
Eriyanto, “Analisis Wacana” Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003.
Lydia Alix Fillingham, “Foucault Untuk Pemula” Kanisius, 2001, hal. 12
George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas” Jurnal kalam №1, 1994